Senin, 17 April 2017

Sang Bintang yang terlupakan






Gerak lincah penuh energik begitu mempesona setiap orang yang menyaksikan pertunjukan tari ini, dengan memainkan beberapa karakter yang disimbolkan dengan topeng, tapi di balik topeng itu ada beragam kisah yang menarik, penuh misteri yang sarat akan symboldan filosofi.


Statis nan dinimis namun  penuh dengan makna dan simbol bagi kehidupan. Tapi  siapa yang menyangka  di balik topeng dengan gerakan yang energik itu, wajah tua yang penuh keringat tampak kelelahan setelah menari beberapa gerakan tari topeng yang dibawakannya selama tujuh jam tanpa henti. Dia adalah Carpan 70 tahun, salah satu penari topeng klasik yang masih tersisa di Indramayu, dia dengan setia mempertahan kan pakem yang pernah dia pelajari tentang tari topeng dari para kakek buyutnya. Mama carpan, sapaan akrab seorang pria yang lantang ketika bicara ini mulai menari sejak tahun 1953. Dia mewarisi tari topeng  langsung dari kakeknya yaitu Ki Dawang lalu turun temurun hingga kakek Carpan yaitu Ki Kejat. Tari topeng yang dipelajarinya bermula dari keinginan dia untuk bisa memikat banyak hati orang hingga dia harus melakukan beragam ritual guna menyempurnakan tariannya, seperti melakukan Ngeplak (puasa 40 hari di langit-langit rumah) dan turun hanya ketika buang hajat, Ngetan (puasa dan buka hanya makan dengan ketan), Mutih (puasa dengan makan nasi putih tanpa lauk pauk). Tari topeng di Cibereng telah ada sejak 1,5 abad lebih. Hingga sekarang, masih ada dua topeng wasiat usianya 150 tahun, berupa Panji dan Tumenggung yang kayunya sudah menghitam. Bila Carpan menari dan mengenakan topeng pusaka, harus lebih dulu melalui ritual dan jejampian khusus.

 Carpan merupakan generasi terakhir dari deretan silsilah tari topeng khas Cibereng di Kecamatan Terisi (dulu Cikedung), Kabupaten Indramayu. Tari topeng yang dikuasai bukan semata karena latihan, tetapi diperoleh begitu saja yang dikehendaki oleh leluhurnya. Ada semacam pertautan magis, di mana arwah leluhur dengan caranya sendiri, dipercaya meniupkan ruh kepada keturunan yang dikehendaki sebagai penari topeng.

Sepintas tariannya sama dengan gaya Rasinah maupun Wangi, saat memainkan Panji. Namun, bila dilihat seksama tempak perbedaan mendasar, terutama pada tekanan kaki ke tanah untuk menopang tubuh. Lalu ayunan tangan yang tampak lebih kaku dan posisi jari-jemari yang menunjukkan seolah seperti digerakan oleh kekuatan di luar si penari.
Perbedaan lebih tajam terlihat pada tari berikutnya Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, dan Kelana seperti pakem tari topeng. Tarian Carpan tidak mengobral gerakan dengan kepakan tangan terbuka bebas. Malah tangan cenderung lebih banyak menekuk dengan gerak terbatas.
Meski begitu, tariannya tetap dinamis diikuti gerakan dada dan kepala yang sepertinya tak pernah berhenti bergerak. Hal yang sangat terasa, tari topeng Carpan penuh daya magis, seperti ritual. Selain itu juga ekstasif, saking larutnya, Carpan membawakan tarian seperti setengah sadar.  
Pewaris tarian klasik
Padahal, sosok Carpan sangat dihormati oleh sesama penari topeng baik Indramayu maupun Cirebon. Di kalangan penari topeng, Carpan dianggap sebagai pemegang tongkat warisan topeng klasik Indramayu yang murni tanpa campuran kreasi lain, dia tetap mempertahankan tradisi yang diwariskan leluhurnya. Tapi tetap saja carpan kian hari kian tenggelam.

Saat tahun 70an, Mama Carpan sangat popular di kampungnya, apalagi ketika dia menari saat upacara adat Ngarot, upacara tradisi masyarakat agraris di desa Lelea kabupaten Indramayu, Mama carpan selalu jadi idola banyak perempuan, maka ada istilah Gondrongan. “Kalau dulu, ketika saya menari, satu sampai tiga perempuan berebut untuk bisa ikut menari sama saya, kemudian kepala mereka saya apit di ketiak saya, sambil menari, kadang juga sampil memberi uang sawer ketika mereka ada di ketiak saya. Nah itu yang disebut Gondrongan.”


Dia salah seorang penari topeng yang juga berhak memegang gelar kehormatan sebagai maestro. Hanya saja, namanya jauh tenggelam oleh kepopuleran Mimi Rasinah dan Wangi Indria. Ketika mereka menikmati ramainya panggungan, Carpan seperti tak tersentuh. Begitu juga di masa-masa berikut ketika Rasinah dan Wangi Indria menari topeng dari satu negara ke negara lain di Eropa, Carpan tak banyak dikenal orang. Dia pernah diajak pentas di Bali tetapi tidak sebagai tokoh utama pementasan.
Hari-hari yang dilalui penuh kekosongan. Tak cuma paceklik, saat musim panen pun dia sudah tidak lagi dijadikan pilihan bagi warga yang hajatan untuk menanggapnya.

Pada awal juni 2010 mama Carpan mendapat anugerah dari gubernur jawa barat sebagai sosok lansia yang peduli terhadap perkembangan seni tradisi, namun bagi Mama Carpan, kebanggaan yang terbesar adalah ketika bisa mewariskan tari topeng tradisional yang khas dengan gayanya, karena begitu sulitnya menarik minat masyarakat untuk turut andil dalam pelestarian seni ini. “Sayangnya saya tdak punya keturunan, jika saja saya punya anak, saya akan ajarkan seluruh gerakan dari semua jenis tari topeng yang saya kuasai”, ujar pria yang kini hidup menduda.
  
Bagi sebagian orang, tari topeng memiliki filosofis dan psikologis mengajarkan kita agar memiliki jiwa yang suci (seperti tari topeng Panji), optimis dan percaya diri (tari topeng Rumyang), tangguh dan gagah (topeng Tumenggung) dan kita diharapkan menghindari cara berfikir dan bertindak emosional (seperti topeng Klana dan Pamindo), juga menghindari sifat serakah dan murka (topeng Klana dan Rahwana). Namun bagaimana mempertahankan warisan budaya itu yang sangat berat, bukan hanya masalah materiil tapi banyak hal lain yang dianggap sangat berpengaruh. Begitu juga dengan Mama Carpan, bagaimana dia harus berhadapan dengan segala kendala untuk tetap melestarikan seni tari topeng hingga nanti muncul generasi penerus tari topeng klasik yang diwariskan leluhur di desa Cibereng.


tulisan lawas, hanya mengenang Ki Carpan


                                                                                                ***

Tidak ada komentar: