Jumat, 14 April 2017

Mangrove dan sebuah memori yang tertinggal


Ode untuk gelatik berkacamata

Yang membuat perjalanannya kembali kala itu ialah kepenasarannya yang ia rupakan sendiri, membuat semakin jauh perjalanan itu hingga perlahan menarik ku masih turut melangkah.

Awalnya masih menjadi keraguan ketika aku harus berhadapan dengan peristiwa yang persis pernah terjadi bertahun lamanya, keraguan akan sebuah janji yang terucap dari mulutnya seolah menjadi khayalan pagi bagi seorang pengelana hutan bakau yang kesepian. Ia berusaha, memberikan keyakinan, meski sungguh saat itu rasa yang amat besar adalah kehawatiran akan sebuah pertemuan yang tak diinginkan.
Sebuah pertemuan sakral bersama sang gelatik dan hanya berharap itu hanya sekali.
Disana diawali dengan sebuah perjamuan yang sungguh tak ku sangka, keluhnya saat itu menggambarkan beragam peristiwa yang tak terbayang untuk dimasukan dalam catatan kaki yang biasa kubuat saat menikmati kopi di sore hari. Bercampur peluh, desah dan dera akhirnya membuat sedikit benang merah itu muncul sehingga mulai terbayang akan ku simpan disaku mana cacatan peristiwa bersama sang gelatik.
Berkala pertemuan dengannya yang kadang membuat tak sedikit kegelisahan menjadi kenyamanan akhirnya menumpuk asa yang dulu terkikis kembali tergumpal walaupun disaku lain kisah abadi yang telah berbuah masih tersimpan, namun darinya banyak harapan muncul, banyak kekuatan untuk melangkah berperistiwa kembali terusung.
Dia berpesan, “ini aku dan kehidupanku, ajarilah terbang dan ini harapan baru untuk mahera”.
Pesannya membuat ku berfikir akan keberadaanku saat ini, keberadaan dalam sebuah dilema yang tak berujung, tapi itu sangat sadar jika saatnya terjadi, mungkin aku bisa menyimpan pesannya di saku kiri yang tak terisi.  Dalam doa malam selalu menyelipkan pertanyaan, akankah aku mampu menjaga isi saku kiri ku, akankah aku akan yakin meski pertemuan dengannya begitu singkat, pertemuan syahwat yang hanya menyisakan kecemburuan. Dan doa doa itu selalu terucap dalam pesan yang ku balas untuknya. Pesan yang sebenarnya tak akan sampai padanya, pesan yang ku titipkan pada seekor ikan tengiri yang menuju laut lepas. Karena aku masih tak yakin apakah aku memang untuk kehidupannya.
Dari pertemuan kembali dengannya, tersaji obrolan pagi di bawah pohon anggur dengan sajian jamu beras kencur yang ia racik sendiri, perjamuan yang sungguh asing bagi ku. Disana sang gelatik berucap janji untuk menjaga kisah dan perjamuan ini akan abadi, namun ku balas dengan sebuah kisah kelam yang pernah ku lalui, mungkin sedikit curhatan saja tentang kisah pernikahan yang sangat singkat. Dan sebenarnya curhatan itu sebuah penanda untuknya akankan ia akan menarik janjinya, tapi dia kembali menuang ramuan jamunya tanpa sebuah ucap dan hanya meneruskan menikmati ramuanya seolah janjinya itu ada. Dan dari pertemuan itu membuat keyakinanku semakin besar, memberikanku sebuah asa terbang bersama sang gelatik dan hanya sedikit memberi ku pertanyaan.

Berulang pertemuan itu membuahkan janin yang tak pernah tumbuh, itu membuatku merasa sangat berdosa. Dia berharap namun tak siap,aku siap namun tak berharap, karena kesadaranku di suatu pagi saat memotong sedikit rambutku, aku tahu mungkin tak selamanya bisa bersama dalam perjamuannya. Tapi aku tak pernah akan ragu pada janji yang ku ucapkan pada sang pengelana di hutan bakau tentang perjamuan pertama ku dengan sang gelatik. Janji sama yang dahulu ku ucap untuk camar di pekarangan, kura kura dan gajah kecil yang entah kemana, dan janji untuk mereka itu masih ku simpan di catatan kaki yang ada di saku kananku hingga kini ku melangkah ke banyak peristiwa.
Janji yang sama telah ku sampaikan supaya bisa terjaga hingga senja menua, janji untuk mahera yang belum pernah ku temui, janji untuk akan selalu ada, janji untuk sang gelatik itu kini telah tercatat pada selembar lontar kering dan sudah tersimpan di saku kiri. Sebenarnya bukan untuknya, tapi untuk sang pengelana yang selalu bersamaku ketika pengaduanku akan kisah keseharian kusampaikan.
Janji untuk sang gelatik berkacamata tak berani terucap, hanya dalam pengaduan kusampaikan dan berharap janji itu tak jadi mimpi buruk di akhir mimpi indahnya.
Di masa panjang tanpa pertemuan, gelatik itu hanya memberi kabar melalui angin, mungkin ia mempersiapkan untuk perjamuan kita kembali, namun hingga kini kabarnya hanya terbawa angin muson yang entah apa isi pesannya.
Sebuah rasa kehilangan hanya kusampaikan pada sang pengelana,
ku sampaikan padanya
“wahai sang pengelanaku, akan kah ia terbang kemari lagi, bersama angin barat yang mulai menipis ? atau kan ia menemukan perjamuan baru bukan denganku?”
Hmmmm,... biarlah, mungkin perjamuan barunya lebih sedikit memberi kisah kelam untuknya, mungkin peristiwaku banyak memberinya penyadaran dan akan membebaninya. Begitu berat bergerak walaupun sebenarnya janjinya di awal perjamuan yang memberatkan langkah ku untuk kembali ke tepian pantai.

Mungkin aku harus berjalan menyusuri guratan pasir sepanjang pantai itu, namun aku akan tetap menoleh ke belakang dan selalu meraba janji yang ku catat dalam lontar kering yang tersimpan di saku kiri ku.

Tidak ada komentar: