Ode untuk gelatik
berkacamata
Yang membuat
perjalanannya kembali kala itu ialah kepenasarannya yang ia rupakan sendiri,
membuat semakin jauh perjalanan itu hingga perlahan menarik ku masih turut melangkah.
Awalnya masih menjadi keraguan ketika aku harus berhadapan
dengan peristiwa yang persis pernah terjadi bertahun lamanya, keraguan akan
sebuah janji yang terucap dari mulutnya seolah menjadi khayalan pagi bagi
seorang pengelana hutan bakau yang kesepian. Ia berusaha, memberikan keyakinan,
meski sungguh saat itu rasa yang amat besar adalah kehawatiran akan sebuah
pertemuan yang tak diinginkan.
Sebuah pertemuan sakral bersama sang gelatik dan hanya
berharap itu hanya sekali.
Disana diawali dengan sebuah perjamuan yang sungguh tak ku
sangka, keluhnya saat itu menggambarkan beragam peristiwa yang tak terbayang
untuk dimasukan dalam catatan kaki yang biasa kubuat saat menikmati kopi di
sore hari. Bercampur peluh, desah dan dera akhirnya membuat sedikit benang
merah itu muncul sehingga mulai terbayang akan ku simpan disaku mana cacatan
peristiwa bersama sang gelatik.
Berkala pertemuan dengannya yang kadang membuat tak sedikit
kegelisahan menjadi kenyamanan akhirnya menumpuk asa yang dulu terkikis kembali
tergumpal walaupun disaku lain kisah abadi yang telah berbuah masih tersimpan,
namun darinya banyak harapan muncul, banyak kekuatan untuk melangkah
berperistiwa kembali terusung.
Dia berpesan, “ini aku dan kehidupanku, ajarilah terbang dan
ini harapan baru untuk mahera”.
Pesannya membuat ku berfikir akan keberadaanku saat ini,
keberadaan dalam sebuah dilema yang tak berujung, tapi itu sangat sadar jika
saatnya terjadi, mungkin aku bisa menyimpan pesannya di saku kiri yang tak
terisi. Dalam doa malam selalu
menyelipkan pertanyaan, akankah aku mampu menjaga isi saku kiri ku, akankah aku
akan yakin meski pertemuan dengannya begitu singkat, pertemuan syahwat yang
hanya menyisakan kecemburuan. Dan doa doa itu selalu terucap dalam pesan yang
ku balas untuknya. Pesan yang sebenarnya tak akan sampai padanya, pesan yang ku
titipkan pada seekor ikan tengiri yang menuju laut lepas. Karena aku masih tak
yakin apakah aku memang untuk kehidupannya.
Dari pertemuan kembali dengannya, tersaji obrolan pagi di
bawah pohon anggur dengan sajian jamu beras kencur yang ia racik sendiri,
perjamuan yang sungguh asing bagi ku. Disana sang gelatik berucap janji untuk
menjaga kisah dan perjamuan ini akan abadi, namun ku balas dengan sebuah kisah
kelam yang pernah ku lalui, mungkin sedikit curhatan saja tentang kisah pernikahan
yang sangat singkat. Dan sebenarnya curhatan itu sebuah penanda untuknya
akankan ia akan menarik janjinya, tapi dia kembali menuang ramuan jamunya tanpa
sebuah ucap dan hanya meneruskan menikmati ramuanya seolah janjinya itu ada. Dan
dari pertemuan itu membuat keyakinanku semakin besar, memberikanku sebuah asa
terbang bersama sang gelatik dan hanya sedikit memberi ku pertanyaan.
Berulang pertemuan itu membuahkan janin yang tak pernah
tumbuh, itu membuatku merasa sangat berdosa. Dia berharap namun tak siap,aku
siap namun tak berharap, karena kesadaranku di suatu pagi saat memotong sedikit
rambutku, aku tahu mungkin tak selamanya bisa bersama dalam perjamuannya. Tapi aku
tak pernah akan ragu pada janji yang ku ucapkan pada sang pengelana di hutan
bakau tentang perjamuan pertama ku dengan sang gelatik. Janji sama yang dahulu ku
ucap untuk camar di pekarangan, kura kura dan gajah kecil yang entah kemana,
dan janji untuk mereka itu masih ku simpan di catatan kaki yang ada di saku
kananku hingga kini ku melangkah ke banyak peristiwa.
Janji yang sama telah ku sampaikan supaya bisa terjaga
hingga senja menua, janji untuk mahera yang belum pernah ku temui, janji untuk
akan selalu ada, janji untuk sang gelatik itu kini telah tercatat pada selembar
lontar kering dan sudah tersimpan di saku kiri. Sebenarnya bukan untuknya, tapi
untuk sang pengelana yang selalu bersamaku ketika pengaduanku akan kisah
keseharian kusampaikan.
Janji untuk sang gelatik berkacamata tak berani terucap,
hanya dalam pengaduan kusampaikan dan berharap janji itu tak jadi mimpi buruk
di akhir mimpi indahnya.
Di masa panjang tanpa pertemuan, gelatik itu hanya memberi
kabar melalui angin, mungkin ia mempersiapkan untuk perjamuan kita kembali,
namun hingga kini kabarnya hanya terbawa angin muson yang entah apa isi
pesannya.
Sebuah rasa kehilangan hanya kusampaikan pada sang
pengelana,
ku sampaikan padanya
“wahai sang pengelanaku, akan kah ia terbang kemari lagi,
bersama angin barat yang mulai menipis ? atau kan ia menemukan perjamuan baru
bukan denganku?”
Hmmmm,... biarlah, mungkin perjamuan barunya lebih sedikit
memberi kisah kelam untuknya, mungkin peristiwaku banyak memberinya penyadaran
dan akan membebaninya. Begitu berat bergerak walaupun sebenarnya janjinya di
awal perjamuan yang memberatkan langkah ku untuk kembali ke tepian pantai.
Mungkin aku harus berjalan menyusuri guratan pasir sepanjang
pantai itu, namun aku akan tetap menoleh ke belakang dan selalu meraba janji
yang ku catat dalam lontar kering yang tersimpan di saku kiri ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar