Di ujung senja Gigolo itu terus meracau menyusuri sungai, dalam dunianya sendiri sekilas dan entah apa yang diumpatnya, lirih merintih seperti telah kehilangan banyak harinya
Hujan mengguyur deras ketika tengah hari itu aku duduk
menikmati air yang mengaliri kaki di sebuah warung kopi sekitaran bukit bergaris dengan hamparan hijau samar terselimut kabut, sembari menunggu
badai reda dari kejauhan tampak seorang pria kurus bersyal corak garis mengikat lehernya berjalan menembus kabut
dan derasnya hujan kala itu. Sepintas dari raut mukanya tampak lelah dengan tas
gendong yang kuyup, sandal beleput lumpur tanah merah dan mata lebam mencuri
pandang kearah ku yang duduk dekat terpal plastik transparan di sudut warung.
Tak tega melihatnya, aku coba menyapa dengan lemparan
senyuman seolah merayu untuk menghindari kekuyupan dan gulungan petir yang
terus bersautan menjebak suasana. Dia datang menghampiriku dan bersama kami
menjadikan tengah hari itu seperti tak pernah terjadi hujan badai. Dia
bercerita tentang sebuah perjalanan waktu yang entah dari mana mulainya, sepertinya aku lupa.
Sepengingatku dia membuka perbicaraan dengan meminta sebatang rokok yang ada
diatas meja. Mungkin mukanya tampak lebih tua dari usianya terlihat dari gaya
bicaranya tanpa basa basi dia menyulut rokok dan berkata
“hari ini begitu lama, apa karena hujan yang
cukup deras atau kabar kematian seorang petani saat aku berjalan tadi?’’.
Sebentar aku diam lalu bertanya padanya tentang siapa dan
mau kemana, dia hanya diam menikmati rokok yang ada di mulutnya sembari terus
menggumam dan berkata
“Sepertinya akan lama hujan ini,
mungkin karena kedatanganku, katanya setiap aku datang pasti hujan, mungkin aku
datang bersama syahwat yang ada di fikir ku”.
Seperti cenayang yang menertawakan nasib orang saja
kata-katanya, atau kata itu terdengar dari orang asing yang aku temui dihari
itu.
“Sudah berapa jauh perjalanan mu,
lihat sandal mu, tebal dengan tanah”
“Lepaslah dulu syal yang kau
ikatkan pada lehermu, mungkin bisa melegakan” sambutku yang mencoba mencari
celah untuk mengenal siapa dirinya
“apa yang kau cari, kemana lagi
akan kau lanjutkan perjalanan setelah hujan reda?”
Mungkin pertanyaanku sedikit menyinggungnya terlihat dari
gerak geriknya yang mulai aneh, duduknya mulai gelisah, badannya terus
digerakkan maju mundur, rokoknya ia buang dan diam.
“seberapa pedulimu akan
perjalananku, biarlah, tak ada tujuan jelas.”
Dia bergegas menyodorkan tangan dan menjabat erat tanganku
lalu berterima kasih atas persinggahannya. Dia melanjutkan pergi tampak tergesa
meski kabut masih menyamarkan pandang sekitar.
“semoga
tujuanmu jelas tuan” teriakku
mengantarnya menghilang berjalan terselimut kabut.
Pria yang aneh, hari yang aneh tentang kabar kematian
petani, hujan yang tak kunjung reda sepertinya sengaja menjebakku dalam pertemuan
dengan pria itu.
Sebenarnya pekerjaanku banyak yang mengatakan sebagai hal
yang menyenangkan, membawa kamera kesana kemari dengan gaya yang kebanyakan
profesi seperti ini banyak menghasilkan uang, tapi tak seperti orang bayangkan.
Hanya bekerja mengandalkan gaji dari tiap foto yang ditayang, yah seperti
itulah mungkin orang hanya tau enaknya saja.
Seperti kejadian hari ini, keharusan membawaku mencari
gambar di sebuah desa dimana banyak pria membawa ikan dan rumput laut, lalu
lalang perahu membelah sungai dengan
terik menyengat kaki debu lembut dan hawa panas pesisir.
Berniat mencari gambar aktivitas di sekitar tambak,
melintasi tanggul dan terhenti di dekat jembatan bambu sepertinya aku melihat
pria kurus yang beberapa hari lalu melintasi perbukitan kala hujan deras. Ia
tengah duduk menyiramkan air sungai ke kakinya yang menghitam tersengat terik,
tas gendongnya terikat syal tergeletak tak jauh darinya.
Ku hampiri dan mengulurkan sebotol air minum
“ sampai ke daerah pesisir
rupanya, mari kita duduk di ujung gubuk itu”
“mungkin hari ini kita bisa
bicara banyak dan menikmati cerah ini”
Tawaranku ia sambut dengan renyah
“sudah, mari kita minum bersama”
“sedikit saja cerita ku, mungkin
kau akan tau siapa aku dan berharap kau mengerti apa yang kulakukan”
“duduklah, dan mari bicara
tentang siapa diriku, dan lihat isi tas ku, itu sama seperti apa yang kau bawa,
tapi didalam kameraku hanya ada potret
seorang wanita yang belum lama ini aku temui”
“Ku foto dia di sekitaran lilin
sebuah vihara, lihat senyumnya manis bukan ?”
“dia adalah perjalananku, dengan agamanya
akhirnya ku tau siapa dia”.
Sepertinya pria itu masih mengenang masa lalunya, kameranya
lebih tua dari punya ku, foto di dalamnya tampak buram, beberapa lain tampak
tajam dan banyak pula yang tak jelas gambarnya. Seperti banyak sekuel yang
terbingkai, mungkin banyak cerita dari gambar-gambar itu.
Dari saku tasnya dia mengeluarkan sebuah memori card dan
memasukkan ke kameranya
“lihat, ini aku dan sebuah
arloji”
“Mari kita bercerita tentang
arloji itu, semoga kau luangkan waktu”
“Itu adalah pemberian seseorang
yang ada di kamera, bagus bukan? Kau percaya jika kau akan sama denganku, hanya
menelan pahit dan merasakan kekecewaan dalam kehampaan, tercampak seperti seseorang
telah menyiakan kasih sayang”
Dalam keadaan yang tak menentu,
dia menyampaikan tentang cerita cinta yang akan ku lalui, mungkin benar katanya
baru saja aku ditinggalkan, atau memang dia seorang cenayang yang bisa melihat
kondisiku saat ini, dan dari kata-katanya terasa iba untuk terus mendengar
“Kau hanya fragmen yang
sebelumnya pernah terjadi, kau akan mengenal cinta yang tak akan kau miliki”
“Kenestapaanku bukan hanya
mengenang gambar-gambar itu, tapi bermula pada sebuah pertemuan yang sungguh
ingin ku hindari dan aku tak menyangka akan sedalam ini rasanya”
Batinnya masih merasakan
kepedihan atas kejadian yang tak ku ketahui, tapi ia selali mengatakan bahwa
akulah yang akan merasakan kepedihan yang sama walaupun sebenarnya aku ingi
melupakan peristiwa yang baru saja ku lalui, seperti tak ada gairah untuk ku
memulai lagi perbincangan itu.
“duuh... rasanya ingin sekali menikmati
secangkir kopi, melupakan keharuan yang teramat menyarang di hati”
Seperti pelacur saja, bedanya
kali ini aku terjebak oleh cinta, mungkin dibuainya sehingga tak beda rasanya”
"kau tau seperti apa rasanya ketika sebuah kepercayaan ternoda oleh janji?'
“Inilah yang saat ini aku
rasakan, sudah tak ada lagi gairah untuk berbagi, hanya meninggalkan begitu
saja dan memang aku pantas untuk mendapatkannya” sautnya sambil perlahan
tertawa
Darinya kudapati sebuah kisah
yang mendalam, kisah cinta ternodai hasrat yang penuh syahwat dan menjadi
lintasan semata, mungkin kekecewaannya sebatas mendapati dirinya sebagai
pelampiasan yang akhirnya memudar. Dari buaian sebuah janji yang pernah ia
dapat hingga menyisakan dirinya yang terjebak dalam kecemasan.
Dia hanya menceritakan kenistaannya sebagai pria yang hanya
dibayar untuk memuaskan nafsu duniawi dan itu tanpa ia sadari, kenistaan yang
tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sembari tertawa dia beranjak pergi menyusuri sungai dan
terus meracau diselingi nyanyian dan sedikit umpatan, tampak berjalan mundur
dengan tatapan nanar ke arah ku dan berteriak
“kau tau gigolo, itu lah dirimu saat ini”
Kau akan merasakanya, dan memang kau merasakannya bukan?”
April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar