Senin, 17 April 2017

Sang Bintang yang terlupakan






Gerak lincah penuh energik begitu mempesona setiap orang yang menyaksikan pertunjukan tari ini, dengan memainkan beberapa karakter yang disimbolkan dengan topeng, tapi di balik topeng itu ada beragam kisah yang menarik, penuh misteri yang sarat akan symboldan filosofi.


Statis nan dinimis namun  penuh dengan makna dan simbol bagi kehidupan. Tapi  siapa yang menyangka  di balik topeng dengan gerakan yang energik itu, wajah tua yang penuh keringat tampak kelelahan setelah menari beberapa gerakan tari topeng yang dibawakannya selama tujuh jam tanpa henti. Dia adalah Carpan 70 tahun, salah satu penari topeng klasik yang masih tersisa di Indramayu, dia dengan setia mempertahan kan pakem yang pernah dia pelajari tentang tari topeng dari para kakek buyutnya. Mama carpan, sapaan akrab seorang pria yang lantang ketika bicara ini mulai menari sejak tahun 1953. Dia mewarisi tari topeng  langsung dari kakeknya yaitu Ki Dawang lalu turun temurun hingga kakek Carpan yaitu Ki Kejat. Tari topeng yang dipelajarinya bermula dari keinginan dia untuk bisa memikat banyak hati orang hingga dia harus melakukan beragam ritual guna menyempurnakan tariannya, seperti melakukan Ngeplak (puasa 40 hari di langit-langit rumah) dan turun hanya ketika buang hajat, Ngetan (puasa dan buka hanya makan dengan ketan), Mutih (puasa dengan makan nasi putih tanpa lauk pauk). Tari topeng di Cibereng telah ada sejak 1,5 abad lebih. Hingga sekarang, masih ada dua topeng wasiat usianya 150 tahun, berupa Panji dan Tumenggung yang kayunya sudah menghitam. Bila Carpan menari dan mengenakan topeng pusaka, harus lebih dulu melalui ritual dan jejampian khusus.

 Carpan merupakan generasi terakhir dari deretan silsilah tari topeng khas Cibereng di Kecamatan Terisi (dulu Cikedung), Kabupaten Indramayu. Tari topeng yang dikuasai bukan semata karena latihan, tetapi diperoleh begitu saja yang dikehendaki oleh leluhurnya. Ada semacam pertautan magis, di mana arwah leluhur dengan caranya sendiri, dipercaya meniupkan ruh kepada keturunan yang dikehendaki sebagai penari topeng.

Sepintas tariannya sama dengan gaya Rasinah maupun Wangi, saat memainkan Panji. Namun, bila dilihat seksama tempak perbedaan mendasar, terutama pada tekanan kaki ke tanah untuk menopang tubuh. Lalu ayunan tangan yang tampak lebih kaku dan posisi jari-jemari yang menunjukkan seolah seperti digerakan oleh kekuatan di luar si penari.
Perbedaan lebih tajam terlihat pada tari berikutnya Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, dan Kelana seperti pakem tari topeng. Tarian Carpan tidak mengobral gerakan dengan kepakan tangan terbuka bebas. Malah tangan cenderung lebih banyak menekuk dengan gerak terbatas.
Meski begitu, tariannya tetap dinamis diikuti gerakan dada dan kepala yang sepertinya tak pernah berhenti bergerak. Hal yang sangat terasa, tari topeng Carpan penuh daya magis, seperti ritual. Selain itu juga ekstasif, saking larutnya, Carpan membawakan tarian seperti setengah sadar.  
Pewaris tarian klasik
Padahal, sosok Carpan sangat dihormati oleh sesama penari topeng baik Indramayu maupun Cirebon. Di kalangan penari topeng, Carpan dianggap sebagai pemegang tongkat warisan topeng klasik Indramayu yang murni tanpa campuran kreasi lain, dia tetap mempertahankan tradisi yang diwariskan leluhurnya. Tapi tetap saja carpan kian hari kian tenggelam.

Saat tahun 70an, Mama Carpan sangat popular di kampungnya, apalagi ketika dia menari saat upacara adat Ngarot, upacara tradisi masyarakat agraris di desa Lelea kabupaten Indramayu, Mama carpan selalu jadi idola banyak perempuan, maka ada istilah Gondrongan. “Kalau dulu, ketika saya menari, satu sampai tiga perempuan berebut untuk bisa ikut menari sama saya, kemudian kepala mereka saya apit di ketiak saya, sambil menari, kadang juga sampil memberi uang sawer ketika mereka ada di ketiak saya. Nah itu yang disebut Gondrongan.”


Dia salah seorang penari topeng yang juga berhak memegang gelar kehormatan sebagai maestro. Hanya saja, namanya jauh tenggelam oleh kepopuleran Mimi Rasinah dan Wangi Indria. Ketika mereka menikmati ramainya panggungan, Carpan seperti tak tersentuh. Begitu juga di masa-masa berikut ketika Rasinah dan Wangi Indria menari topeng dari satu negara ke negara lain di Eropa, Carpan tak banyak dikenal orang. Dia pernah diajak pentas di Bali tetapi tidak sebagai tokoh utama pementasan.
Hari-hari yang dilalui penuh kekosongan. Tak cuma paceklik, saat musim panen pun dia sudah tidak lagi dijadikan pilihan bagi warga yang hajatan untuk menanggapnya.

Pada awal juni 2010 mama Carpan mendapat anugerah dari gubernur jawa barat sebagai sosok lansia yang peduli terhadap perkembangan seni tradisi, namun bagi Mama Carpan, kebanggaan yang terbesar adalah ketika bisa mewariskan tari topeng tradisional yang khas dengan gayanya, karena begitu sulitnya menarik minat masyarakat untuk turut andil dalam pelestarian seni ini. “Sayangnya saya tdak punya keturunan, jika saja saya punya anak, saya akan ajarkan seluruh gerakan dari semua jenis tari topeng yang saya kuasai”, ujar pria yang kini hidup menduda.
  
Bagi sebagian orang, tari topeng memiliki filosofis dan psikologis mengajarkan kita agar memiliki jiwa yang suci (seperti tari topeng Panji), optimis dan percaya diri (tari topeng Rumyang), tangguh dan gagah (topeng Tumenggung) dan kita diharapkan menghindari cara berfikir dan bertindak emosional (seperti topeng Klana dan Pamindo), juga menghindari sifat serakah dan murka (topeng Klana dan Rahwana). Namun bagaimana mempertahankan warisan budaya itu yang sangat berat, bukan hanya masalah materiil tapi banyak hal lain yang dianggap sangat berpengaruh. Begitu juga dengan Mama Carpan, bagaimana dia harus berhadapan dengan segala kendala untuk tetap melestarikan seni tari topeng hingga nanti muncul generasi penerus tari topeng klasik yang diwariskan leluhur di desa Cibereng.


tulisan lawas, hanya mengenang Ki Carpan


                                                                                                ***

Sabtu, 15 April 2017

Gigolo itu kini meracau di tepian sungai




Di ujung senja Gigolo itu terus meracau menyusuri sungai, dalam dunianya sendiri sekilas dan entah apa yang diumpatnya, lirih merintih seperti telah kehilangan banyak harinya


Hujan mengguyur deras ketika tengah hari itu aku duduk menikmati air yang mengaliri kaki di sebuah warung kopi sekitaran bukit bergaris dengan hamparan hijau samar terselimut kabut, sembari menunggu badai reda dari kejauhan tampak seorang pria kurus bersyal corak garis   mengikat lehernya berjalan menembus kabut dan derasnya hujan kala itu. Sepintas dari raut mukanya tampak lelah dengan tas gendong yang kuyup, sandal beleput lumpur tanah merah dan mata lebam mencuri pandang kearah ku yang duduk dekat terpal plastik transparan di sudut warung.

Tak tega melihatnya, aku coba menyapa dengan lemparan senyuman seolah merayu untuk menghindari kekuyupan dan gulungan petir yang terus bersautan menjebak suasana. Dia datang menghampiriku dan bersama kami menjadikan tengah hari itu seperti tak pernah terjadi hujan badai. Dia bercerita tentang sebuah perjalanan waktu yang entah  dari mana mulainya, sepertinya aku lupa. Sepengingatku dia membuka perbicaraan dengan meminta sebatang rokok yang ada diatas meja. Mungkin mukanya tampak lebih tua dari usianya terlihat dari gaya bicaranya tanpa basa basi dia menyulut rokok dan berkata
 “hari ini begitu lama, apa karena hujan yang cukup deras atau kabar kematian seorang petani saat aku berjalan tadi?’’.
Sebentar aku diam lalu bertanya padanya tentang siapa dan mau kemana, dia hanya diam menikmati rokok yang ada di mulutnya sembari terus menggumam dan berkata
“Sepertinya akan lama hujan ini, mungkin karena kedatanganku, katanya setiap aku datang pasti hujan, mungkin aku datang bersama syahwat yang ada di fikir ku”.
Seperti cenayang yang menertawakan nasib orang saja kata-katanya, atau kata itu terdengar dari orang asing yang aku temui dihari itu.
“Sudah berapa jauh perjalanan mu, lihat sandal mu, tebal dengan tanah”
“Lepaslah dulu syal yang kau ikatkan pada lehermu, mungkin bisa melegakan” sambutku yang mencoba mencari celah untuk mengenal siapa dirinya
“apa yang kau cari, kemana lagi akan kau lanjutkan perjalanan setelah hujan reda?”
Mungkin pertanyaanku sedikit menyinggungnya terlihat dari gerak geriknya yang mulai aneh, duduknya mulai gelisah, badannya terus digerakkan maju mundur, rokoknya ia buang dan diam.
“seberapa pedulimu akan perjalananku, biarlah, tak ada tujuan jelas.”

Dia bergegas menyodorkan tangan dan menjabat erat tanganku lalu berterima kasih atas persinggahannya. Dia melanjutkan pergi tampak tergesa meski kabut masih menyamarkan pandang sekitar.
       “semoga tujuanmu jelas tuan”  teriakku mengantarnya menghilang berjalan terselimut kabut.
Pria yang aneh, hari yang aneh tentang kabar kematian petani, hujan yang tak kunjung reda sepertinya sengaja menjebakku dalam pertemuan dengan pria itu.

Sebenarnya pekerjaanku banyak yang mengatakan sebagai hal yang menyenangkan, membawa kamera kesana kemari dengan gaya yang kebanyakan profesi seperti ini banyak menghasilkan uang, tapi tak seperti orang bayangkan. Hanya bekerja mengandalkan gaji dari tiap foto yang ditayang, yah seperti itulah mungkin orang hanya tau enaknya saja.
Seperti kejadian hari ini, keharusan membawaku mencari gambar di sebuah desa dimana banyak pria membawa ikan dan rumput laut, lalu lalang perahu membelah  sungai dengan terik menyengat kaki debu lembut dan hawa panas pesisir.

Berniat mencari gambar aktivitas di sekitar tambak, melintasi tanggul dan terhenti di dekat jembatan bambu sepertinya aku melihat pria kurus yang beberapa hari lalu melintasi perbukitan kala hujan deras. Ia tengah duduk menyiramkan air sungai ke kakinya yang menghitam tersengat terik, tas gendongnya terikat syal tergeletak tak jauh darinya.
Ku hampiri dan mengulurkan sebotol air minum
“ sampai ke daerah pesisir rupanya, mari kita duduk di ujung gubuk itu”
“mungkin hari ini kita bisa bicara banyak dan menikmati cerah ini”
Tawaranku ia sambut dengan renyah
“sudah, mari kita minum bersama”
“sedikit saja cerita ku, mungkin kau akan tau siapa aku dan berharap kau mengerti apa yang kulakukan”
“duduklah, dan mari bicara tentang siapa diriku, dan lihat isi tas ku, itu sama seperti apa yang kau bawa, tapi didalam kameraku  hanya ada potret seorang wanita yang belum lama ini aku temui”
“Ku foto dia di sekitaran lilin sebuah vihara, lihat senyumnya manis bukan ?”
 “dia adalah perjalananku, dengan agamanya akhirnya ku tau siapa dia”.

Sepertinya pria itu masih mengenang masa lalunya, kameranya lebih tua dari punya ku, foto di dalamnya tampak buram, beberapa lain tampak tajam dan banyak pula yang tak jelas gambarnya. Seperti banyak sekuel yang terbingkai, mungkin banyak cerita dari gambar-gambar itu.
Dari saku tasnya dia mengeluarkan sebuah memori card dan memasukkan ke kameranya
“lihat, ini aku dan sebuah arloji”
“Mari kita bercerita tentang arloji itu, semoga kau luangkan waktu”
“Itu adalah pemberian seseorang yang ada di kamera, bagus bukan? Kau percaya jika kau akan sama denganku, hanya menelan pahit dan merasakan kekecewaan dalam kehampaan, tercampak seperti seseorang telah menyiakan kasih sayang”

Dalam keadaan yang tak menentu, dia menyampaikan tentang cerita cinta yang akan ku lalui, mungkin benar katanya baru saja aku ditinggalkan, atau memang dia seorang cenayang yang bisa melihat kondisiku saat ini, dan dari kata-katanya terasa iba untuk terus mendengar
“Kau hanya fragmen yang sebelumnya pernah terjadi, kau akan mengenal cinta yang tak akan kau miliki”
“Kenestapaanku bukan hanya mengenang gambar-gambar itu, tapi bermula pada sebuah pertemuan yang sungguh ingin ku hindari dan aku tak menyangka akan sedalam ini rasanya”

Batinnya masih merasakan kepedihan atas kejadian yang tak ku ketahui, tapi ia selali mengatakan bahwa akulah yang akan merasakan kepedihan yang sama walaupun sebenarnya aku ingi melupakan peristiwa yang baru saja ku lalui, seperti tak ada gairah untuk ku memulai lagi perbincangan itu.
“duuh... rasanya ingin sekali menikmati secangkir kopi, melupakan keharuan yang teramat menyarang di hati”
Seperti pelacur saja, bedanya kali ini aku terjebak oleh cinta, mungkin dibuainya sehingga tak beda rasanya”
"kau tau seperti apa rasanya ketika sebuah kepercayaan ternoda oleh janji?'
“Inilah yang saat ini aku rasakan, sudah tak ada lagi gairah untuk berbagi, hanya meninggalkan begitu saja dan memang aku pantas untuk mendapatkannya”   sautnya sambil perlahan tertawa

Darinya kudapati sebuah kisah yang mendalam, kisah cinta ternodai hasrat yang penuh syahwat dan menjadi lintasan semata, mungkin kekecewaannya sebatas mendapati dirinya sebagai pelampiasan yang akhirnya memudar. Dari buaian sebuah janji yang pernah ia dapat hingga menyisakan dirinya yang terjebak dalam kecemasan.
Dia hanya menceritakan kenistaannya sebagai pria yang hanya dibayar untuk memuaskan nafsu duniawi dan itu tanpa ia sadari, kenistaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sembari tertawa dia beranjak pergi menyusuri sungai dan terus meracau diselingi nyanyian dan sedikit umpatan, tampak berjalan mundur dengan tatapan nanar ke arah ku dan berteriak
“kau tau gigolo, itu lah dirimu saat ini”
Kau akan merasakanya, dan memang kau merasakannya bukan?”





April 2017

Jumat, 14 April 2017

Mangrove dan sebuah memori yang tertinggal


Ode untuk gelatik berkacamata

Yang membuat perjalanannya kembali kala itu ialah kepenasarannya yang ia rupakan sendiri, membuat semakin jauh perjalanan itu hingga perlahan menarik ku masih turut melangkah.

Awalnya masih menjadi keraguan ketika aku harus berhadapan dengan peristiwa yang persis pernah terjadi bertahun lamanya, keraguan akan sebuah janji yang terucap dari mulutnya seolah menjadi khayalan pagi bagi seorang pengelana hutan bakau yang kesepian. Ia berusaha, memberikan keyakinan, meski sungguh saat itu rasa yang amat besar adalah kehawatiran akan sebuah pertemuan yang tak diinginkan.
Sebuah pertemuan sakral bersama sang gelatik dan hanya berharap itu hanya sekali.
Disana diawali dengan sebuah perjamuan yang sungguh tak ku sangka, keluhnya saat itu menggambarkan beragam peristiwa yang tak terbayang untuk dimasukan dalam catatan kaki yang biasa kubuat saat menikmati kopi di sore hari. Bercampur peluh, desah dan dera akhirnya membuat sedikit benang merah itu muncul sehingga mulai terbayang akan ku simpan disaku mana cacatan peristiwa bersama sang gelatik.
Berkala pertemuan dengannya yang kadang membuat tak sedikit kegelisahan menjadi kenyamanan akhirnya menumpuk asa yang dulu terkikis kembali tergumpal walaupun disaku lain kisah abadi yang telah berbuah masih tersimpan, namun darinya banyak harapan muncul, banyak kekuatan untuk melangkah berperistiwa kembali terusung.
Dia berpesan, “ini aku dan kehidupanku, ajarilah terbang dan ini harapan baru untuk mahera”.
Pesannya membuat ku berfikir akan keberadaanku saat ini, keberadaan dalam sebuah dilema yang tak berujung, tapi itu sangat sadar jika saatnya terjadi, mungkin aku bisa menyimpan pesannya di saku kiri yang tak terisi.  Dalam doa malam selalu menyelipkan pertanyaan, akankah aku mampu menjaga isi saku kiri ku, akankah aku akan yakin meski pertemuan dengannya begitu singkat, pertemuan syahwat yang hanya menyisakan kecemburuan. Dan doa doa itu selalu terucap dalam pesan yang ku balas untuknya. Pesan yang sebenarnya tak akan sampai padanya, pesan yang ku titipkan pada seekor ikan tengiri yang menuju laut lepas. Karena aku masih tak yakin apakah aku memang untuk kehidupannya.
Dari pertemuan kembali dengannya, tersaji obrolan pagi di bawah pohon anggur dengan sajian jamu beras kencur yang ia racik sendiri, perjamuan yang sungguh asing bagi ku. Disana sang gelatik berucap janji untuk menjaga kisah dan perjamuan ini akan abadi, namun ku balas dengan sebuah kisah kelam yang pernah ku lalui, mungkin sedikit curhatan saja tentang kisah pernikahan yang sangat singkat. Dan sebenarnya curhatan itu sebuah penanda untuknya akankan ia akan menarik janjinya, tapi dia kembali menuang ramuan jamunya tanpa sebuah ucap dan hanya meneruskan menikmati ramuanya seolah janjinya itu ada. Dan dari pertemuan itu membuat keyakinanku semakin besar, memberikanku sebuah asa terbang bersama sang gelatik dan hanya sedikit memberi ku pertanyaan.

Berulang pertemuan itu membuahkan janin yang tak pernah tumbuh, itu membuatku merasa sangat berdosa. Dia berharap namun tak siap,aku siap namun tak berharap, karena kesadaranku di suatu pagi saat memotong sedikit rambutku, aku tahu mungkin tak selamanya bisa bersama dalam perjamuannya. Tapi aku tak pernah akan ragu pada janji yang ku ucapkan pada sang pengelana di hutan bakau tentang perjamuan pertama ku dengan sang gelatik. Janji sama yang dahulu ku ucap untuk camar di pekarangan, kura kura dan gajah kecil yang entah kemana, dan janji untuk mereka itu masih ku simpan di catatan kaki yang ada di saku kananku hingga kini ku melangkah ke banyak peristiwa.
Janji yang sama telah ku sampaikan supaya bisa terjaga hingga senja menua, janji untuk mahera yang belum pernah ku temui, janji untuk akan selalu ada, janji untuk sang gelatik itu kini telah tercatat pada selembar lontar kering dan sudah tersimpan di saku kiri. Sebenarnya bukan untuknya, tapi untuk sang pengelana yang selalu bersamaku ketika pengaduanku akan kisah keseharian kusampaikan.
Janji untuk sang gelatik berkacamata tak berani terucap, hanya dalam pengaduan kusampaikan dan berharap janji itu tak jadi mimpi buruk di akhir mimpi indahnya.
Di masa panjang tanpa pertemuan, gelatik itu hanya memberi kabar melalui angin, mungkin ia mempersiapkan untuk perjamuan kita kembali, namun hingga kini kabarnya hanya terbawa angin muson yang entah apa isi pesannya.
Sebuah rasa kehilangan hanya kusampaikan pada sang pengelana,
ku sampaikan padanya
“wahai sang pengelanaku, akan kah ia terbang kemari lagi, bersama angin barat yang mulai menipis ? atau kan ia menemukan perjamuan baru bukan denganku?”
Hmmmm,... biarlah, mungkin perjamuan barunya lebih sedikit memberi kisah kelam untuknya, mungkin peristiwaku banyak memberinya penyadaran dan akan membebaninya. Begitu berat bergerak walaupun sebenarnya janjinya di awal perjamuan yang memberatkan langkah ku untuk kembali ke tepian pantai.

Mungkin aku harus berjalan menyusuri guratan pasir sepanjang pantai itu, namun aku akan tetap menoleh ke belakang dan selalu meraba janji yang ku catat dalam lontar kering yang tersimpan di saku kiri ku.

Senin, 03 Februari 2014

Ahura Magda


'

Sepertinya hujan kemaren memaksa ku untuk mengingat sesuatu, dengan iringan lagu dari handphone ku yang rusak, suasana malam semakin sendu dengan remang bayangan wajah yang dulu dan kini masih terekam jelas,
Gemuruh pun mengantarkan kerinduan yang lama terpendam, meski kadang, sulit untuk bisa berada pada kenyataan.  Atau aku harus tetap memaksa memendam kenangan itu, hingga aku tak tau lagi harus apa.
Dia kini diam-diam selalu bernafas di belakang leher ku, menyisakan nafas yang sesungguhnya harus aku jaga. Menjadikan cerita dan catatan kaki yang terkumpul dalam buku kecil yang kini aku tinggal dalam rak lemari tua ku.

Ada sebuah nama yang aku rindukan ketika malam ku selalu gundan dan terjaga hingga pagi, Zarathustra ahura magda, sebuah cahaya terang yang kini aku sia-siakan.

Senin, 07 November 2011

INILAH KESAKSIAN KU


INILAH KESAKSIAN KU



Sebuah Ode sang Pengelana
Inilah sebuah kesaksian sang Pengelana, sang Musang kesturi penguasa hutan bakau. Kala itu dia menggandeng ku untuk berbincang di tepi pantai,. Telanjang dada dengan terik matahari yang memeluk pasir.
Pembicaraan dimulai dari secangkir teh. Sembari mengucurkan teh, setetes demi setetes air matanya masuk ke dalam cangkirnya. Aku bertanya ada apa dengannya .??
“aku sudah tidak bisa lagi selalu berbohong. Bagi ku, aku adalah sang pengelana yang menguasai hutan ku, namun ada ganjaran yang harus aku terima, aku tak lagi bisa menguasai camar muara, pun tak dapat meyakinkan gajah pasir, meski seekor kura-kura sudah tidak lagi di sini.” Jelasnya dalam isakan tangis.
Dia benar-benar menangis, dia memaksaku untuk jadi pendengarnya, yang sebenarnya aku belum siap.
Maaf kawan, ini kalinya dirimu harus bertarung kembali untuk menguasai hutan mu.
Aku tahu,. Camar-mu masih selalu ada di hati, gajah- mu sebenarnya masih menanti mu di ranjang pantai mu ini, kura-kura- mu selalu berdoa untuk mu di sana. Namun aku tak tahu apakah dirimu mampu bertahan pada pertempuran mu, saat gelombang pasang memaksa mu untuk masuk lagi dalam pasir hisap.
“ya… aku sebenarnya tak sanggup dan takut kembali dalam pasir hisap itu,. Tapi saya mohon, kau jangan pergi untuk tidak mendengarkan ku,. Aku sudah tidak punya siapa-lagi,. Meski camar dan gajahku ada,. Aku tak mau membawa mereka dalam pasir hisap juga. Karena mereka aku ada”
Aku tak tahu apakah aku akan meminum habis teh yang ada pada tangan ku, setelah mendengarkan kesaksian sang Pengelana. Bagi ku itu adalah sebuah pengakuan dosa.
Sebentar dia mengambil segenggap pasir dan berdoa untuk ku,. Sebuah doa panjang yang diakhiri dengan senyum.
“kawan,.. pasir ini akan bersaksi, bahwa pertemuan kita disini bukan sebuah akhir,. Meski kau mengatakan sebaliknya,. Dengan pasir ini aku mendoakan mu untuk bisa masuk dalam dirimu,. Mengetahui diri mu, dengan keyakinan yang sesungguhnya, bukan karena orang-orang,. Meski setelah teh itu habis dank au meninggalkan ku sendiri lagi,. Pasir ini berdoa untuk kau kembali kesini dengan keyakinan mu”
Setelah menghampiri senja, dan sang Pengelana itu tersenyum pada ku,. Aku meninggalkannya sendiri, dengan tangannya yang masih mengenggam pasir dan senyumnya yang manis,. Apakah doa itu adalah Kesaksian atas dosa ku juga,.???



BERASAL DARI PASIR, BERAKHIR MENJADI PASIR


Manusia pertama harus memulai 
Perjalanan bumi  saat malaikat mulai  cemas 
Bila damai surga sudah tidak di hati mereka
Akan hilang sebuah arti perjalanan jika hanya menjawab, perjalanan apa yang akan dilalui                
karena semua tak bisa membayangkan

Pada segenggam pasir itu terbaring tubuh sang perawan yang tak tau siapa dirinya
Yang mencari siapa tuannya
Yang mencari dimana cintanya
Yang tak tahu siapa tuhannya
 tuhannya siapa

Dan sang perawan itu tak tersesat di hutan bakau
Dimana pujangga sang pengelana selalu bersandar dan bermain seruling

Perjalanan pun tak lagi ada yang tahu, kemana sang perawan akan pergi,
Untuk siapa aroma seruling itu di mainkan sang pengelana.

seperti apa dunia itu nantinya jika keduanya merasa benar,
namun sang pengelana meminta dua malaikat untuk membawa kembali sang perawan untuk berbaring diatas segenggam pasir dan membawanya pulang
dan menjadikannya sebuah misteri embuh musim kemarau bagi sang peniup seruling.



PULANG BERPERISTIWA PADA SORE ITU



Ode untuk Djenar-Djenar
Angin meliuk di helaian rambutku hingga mengusap keringat di muka dan leher
Saat kaki ini menjelajah pada jalan setapak menuju hutan bakau yang tercahayai
Sembari melangkah, tak hentinya ilalang kering melambai dan menyentuh tangan ku
Saat itu aku rasakan aroma, aroma sang pengelana..
Aroma yang kurindukan dan kurasa semakin dekat pada kepulangan ku.
Diujung batas pantai aku lihat sang pengelana ku, penuh air mata putih menyeret sebuah kotak kecil
Hingga aku berteriak padanya
 “ apa yang kau lakukan dengan kotak kecil mu itu, wahai sang Pengelana ku”
Dia tersenyum dengan tetap berair-mata
Dan, tetap saja dia memandangku
Katanya dengan tegas
“ aku berusaha menyimpan kotak itu dan aku kuburkan pada dasar pasir pantai ini, .. di hutan bakau ku “
Apa yang dilakukan mu sang pengelana, jangan jadikan itu rahasia dari ku,. !!
Kepulanganku membawa rindu kasih sayang untuk mu, lalu dimana camar, kura-kura dan gajah yang selalu kau sayangi itu .. ?
“ ya, mereka ada, mereka tak kemana, dan aku berusaha untuk memasukkan jantung dan  hati ku dalam kotak ini dan akan tersimpan hanya untuk mereka, ketika mereka datang dengan kabar kerinduan seperti yang kau sampaikan pada ku “
Apakah kau tak mau mendegar kisah saat aku pergi tadi,. Saat aku berkisah dengan buaian debu kota di mana tempat meramu sebuah cinta menjadi kebencian ?
“sepertinya itu kisah mu, dan lakukanlah, simpan kisahmu dalam kotak dan kau kubur dalam-dalam hingga menjadi misteri untuk ku”
Ya,… aku tak akan menjadikan kisahku misteri bagi mu, sang pengelana ku, aku tau kau merasakan kisah ku, dan dalam kotak yang kau bawa itu bukan hanya jantung dan hati mu, di sana kisah ku pun kau akan kubur.