Gerak
lincah penuh energik begitu mempesona setiap orang yang menyaksikan pertunjukan
tari ini, dengan memainkan beberapa karakter yang disimbolkan dengan topeng,
tapi di balik topeng itu ada beragam kisah yang menarik, penuh misteri yang
sarat akan symboldan filosofi.
Statis
nan dinimis namun penuh dengan makna dan
simbol bagi kehidupan. Tapi siapa yang
menyangka di balik topeng dengan gerakan
yang energik itu, wajah tua yang penuh keringat tampak kelelahan setelah menari
beberapa gerakan tari topeng yang dibawakannya selama tujuh jam tanpa henti.
Dia adalah Carpan 70 tahun, salah satu penari topeng klasik yang masih tersisa
di Indramayu, dia dengan setia mempertahan kan pakem yang pernah dia pelajari tentang tari topeng dari para kakek
buyutnya. Mama carpan, sapaan akrab seorang pria yang lantang ketika bicara ini
mulai menari sejak tahun 1953. Dia mewarisi tari topeng langsung dari kakeknya yaitu Ki Dawang lalu
turun temurun hingga kakek Carpan yaitu Ki Kejat. Tari topeng yang
dipelajarinya bermula dari keinginan dia untuk bisa memikat banyak hati orang
hingga dia harus melakukan beragam ritual guna menyempurnakan tariannya,
seperti melakukan Ngeplak (puasa 40 hari di langit-langit rumah) dan turun
hanya ketika buang hajat, Ngetan (puasa dan buka hanya makan dengan ketan),
Mutih (puasa dengan makan nasi putih tanpa lauk pauk). Tari topeng di Cibereng telah
ada sejak 1,5 abad lebih. Hingga sekarang, masih ada dua topeng wasiat usianya
150 tahun, berupa Panji dan Tumenggung yang kayunya sudah menghitam. Bila
Carpan menari dan mengenakan topeng pusaka, harus lebih dulu melalui ritual dan
jejampian khusus.
Carpan merupakan generasi terakhir dari deretan silsilah
tari topeng khas Cibereng di Kecamatan Terisi (dulu Cikedung), Kabupaten
Indramayu. Tari topeng yang dikuasai bukan semata karena latihan, tetapi
diperoleh begitu saja yang dikehendaki oleh leluhurnya. Ada semacam pertautan
magis, di mana arwah leluhur dengan caranya sendiri, dipercaya meniupkan ruh
kepada keturunan yang dikehendaki sebagai penari topeng.
Sepintas tariannya sama dengan gaya Rasinah
maupun Wangi, saat memainkan Panji. Namun, bila dilihat seksama tempak perbedaan
mendasar, terutama pada tekanan kaki ke tanah untuk menopang tubuh. Lalu ayunan
tangan yang tampak lebih kaku dan posisi jari-jemari yang menunjukkan seolah
seperti digerakan oleh kekuatan di luar si penari.
Perbedaan lebih tajam terlihat pada tari
berikutnya Samba Putih, Samba Merah, Tumenggung, dan Kelana seperti pakem tari
topeng. Tarian Carpan tidak mengobral gerakan dengan kepakan tangan terbuka
bebas. Malah tangan cenderung lebih banyak menekuk dengan gerak terbatas.
Meski begitu, tariannya tetap dinamis diikuti
gerakan dada dan kepala yang sepertinya tak pernah berhenti bergerak. Hal yang
sangat terasa, tari topeng Carpan penuh daya magis, seperti ritual. Selain itu
juga ekstasif, saking larutnya, Carpan membawakan tarian seperti setengah
sadar.
Pewaris tarian klasik
Padahal, sosok Carpan sangat dihormati oleh sesama
penari topeng baik Indramayu maupun Cirebon. Di kalangan penari topeng, Carpan
dianggap sebagai pemegang tongkat warisan topeng klasik Indramayu yang murni
tanpa campuran kreasi lain, dia tetap mempertahankan tradisi yang diwariskan
leluhurnya. Tapi tetap saja carpan kian hari kian tenggelam.
Saat
tahun 70an, Mama Carpan sangat popular di kampungnya, apalagi ketika dia menari
saat upacara adat Ngarot, upacara tradisi masyarakat agraris di desa Lelea
kabupaten Indramayu, Mama carpan selalu jadi idola banyak perempuan, maka ada
istilah Gondrongan. “Kalau dulu,
ketika saya menari, satu sampai tiga perempuan berebut untuk bisa ikut menari
sama saya, kemudian kepala mereka saya apit di ketiak saya, sambil menari,
kadang juga sampil memberi uang sawer ketika mereka ada di ketiak saya. Nah itu
yang disebut Gondrongan.”
Dia salah seorang penari topeng yang juga berhak memegang
gelar kehormatan sebagai maestro. Hanya saja, namanya jauh tenggelam oleh kepopuleran
Mimi Rasinah dan Wangi Indria. Ketika mereka menikmati ramainya panggungan,
Carpan seperti tak tersentuh. Begitu juga di masa-masa berikut ketika Rasinah
dan Wangi Indria menari topeng dari satu negara ke negara lain di Eropa, Carpan
tak banyak dikenal orang. Dia pernah diajak pentas di Bali tetapi tidak sebagai
tokoh utama pementasan.
Hari-hari yang dilalui penuh kekosongan. Tak cuma paceklik,
saat musim panen pun dia sudah tidak lagi dijadikan pilihan bagi warga yang
hajatan untuk menanggapnya.
Pada
awal juni 2010 mama Carpan mendapat anugerah dari gubernur jawa barat sebagai
sosok lansia yang peduli terhadap perkembangan seni tradisi, namun bagi Mama
Carpan, kebanggaan yang terbesar adalah ketika bisa mewariskan tari topeng
tradisional yang khas dengan gayanya, karena begitu sulitnya menarik minat
masyarakat untuk turut andil dalam pelestarian seni ini. “Sayangnya saya tdak
punya keturunan, jika saja saya punya anak, saya akan ajarkan seluruh gerakan dari
semua jenis tari topeng yang saya kuasai”, ujar pria yang kini hidup menduda.
Bagi
sebagian orang, tari topeng memiliki filosofis dan psikologis mengajarkan kita
agar memiliki jiwa yang suci (seperti tari topeng Panji), optimis dan percaya
diri (tari topeng Rumyang), tangguh dan gagah (topeng Tumenggung) dan kita
diharapkan menghindari cara berfikir dan bertindak emosional (seperti topeng
Klana dan Pamindo), juga menghindari sifat serakah dan murka (topeng Klana dan
Rahwana). Namun bagaimana mempertahankan warisan budaya itu yang sangat berat,
bukan hanya masalah materiil tapi banyak hal lain yang dianggap sangat
berpengaruh. Begitu juga dengan Mama Carpan, bagaimana dia harus berhadapan
dengan segala kendala untuk tetap melestarikan seni tari topeng hingga nanti
muncul generasi penerus tari topeng klasik yang diwariskan leluhur di desa
Cibereng.
tulisan lawas, hanya mengenang Ki Carpan
***